Sesungguhnya kehidupan dan kematiannya merupakan gambaran yang indah
dari insan yang mulia, penuh pengorbanan, iffah, suci, jiwa yang
tenteram dan bersih. Patut baginya memperoleh kedudukan yang tinggi di
dunia dan di akhirat, kerana dia adalah cucu Rasulullah putera Ali bin
Abu Thalib dan Fatimah Az Zahra, serta saudara kandung Husein, penghulu
para syuhada. Layak pula baginya memperolehi tempat yang mulia di antara
orang-orang soleh, kerana beliau meninggalkan jabatan khalifah dengan
cara bermandikan darah para syuhada. Beliau mengutamakan meninggikan
bendera Islam sebagai ganti mengumandangkan teriakan perang. Hatinya
memancarkan rahmat, kasih sayang, kalbunya diliputi dengan perasaan
kasih, dan jiwanya penuh dengan sifat keutamaan.
Bekas ciuman Rasulullah bau semerbak dari bibirnya. Baginda
Rasulullah mencintai Hasan dan saudaranya Husein, sehingga menjadikan
kehidupan keduanya bagai kehidupan para malaikat. Keduanya hidup dalam
naungan Ilahi. Pada masa kanak-kanaknya yang suci, mereka diberi
ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW memberinya
pelajaran dan cara hidup Islam serta pendidikan Ilahi. Dari lingkungan
kedua orang tuanya, mereka mengambil suri teladan yang mulia. Dalam
lingkungan yang jelas dan positif itulah Saidina Hasan dan Saidina
Husein hidup berdampingan satu sama lain.
Hampir tiada berlalu suatu haripun tanpa Rasulullah mengungkapkan
kepada para sahabatnya tentang cintanya kepada cucu-cucunya. Badan Hasan
banyak kemiripannya dengan bentuk badan Rasulullah. Diriwayatkan bahwa
suatu hari Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib sedang keluar dari masjid
selesai shalat. Tiba-tiba mereka berdua melihat Hasan sedang bermain.
Lalu Abu Bakar ikut mengajaknya bermain. Setelah itu beliau berkata
kepada Ali, “Demi Allah, dia lebih mirip dengan Rasulullah dari pada
denganmu.” Mendengar yang demikian itu Ali tertawa.
Tentang kecintaan Rasulullah kepada Hasan dan Husein. Abu Hurairah
pernah berkata, “Rasulullah datang kepada kami bersama kedua cucunya,
Hasan dan Husein. Yang pertama ada di bahunya yang satu, dan yang kedua
ada di bahunya yang lain. Sesekali baginda Rasulullah menciumnya, sampai
beliau berhenti di tempat kami. Kemudian baginda bersabda, ‘Barangsiapa
mencintai keduanya (Hasan dan Husein) bererti ia mencintai aku.
Barangsiapa membenci keduanya bererti ia membenci aku’.”
Berkaitan dengan Hasan, Rasulullah memberitahukan bahwa ia akan
mendamaikan antara dua golongan kaum muslimin. Beberapa tahun setelah
itu ramalan tersebut betul-betul terjadi. Peristiwa itu terjadi setelah
wafatnya Rasulullah dan setelah Ali meninggal dunia. Saat itu penduduk
Iraq datang untuk membaiat Hasan. Mereka percaya bahwa Hasan lah yang
paling berhak menduduki jabatan khalifah.
Pada waktu yang bersamaan, penduduk Syam membaiat Muawiyah, sehingga
pertempuran baru antara Iraq dan Syam tidak dapat dihindari lagi. Di
sinilah nampak kecerdasan Hasan. Beliau berpikir, terbayang dalam
benaknya apa yang pernah terjadi dalam perang Shiffin. Di situ ia
melihat ramainya korban yang terbunuh dan darah yang mengalir,
mengakibatkan anak menjadi yatim dan perempuan menjadi janda. Apa yang
dihasilkan oleh perang hanyalah kebinasaan dan kerosakan. Beliau khuatir
terulangnya kembali peristiwa peperangan dan pertumpahan darah antara
sesama kaum muslimin.
Ketika ia sedang mencari jalan penyelesaian dari terjadinya
pertumpahan darah tersebut, tiba-tiba datang surat dari Muawiyah
kepadanya. Di dalamnya tersirat politik Bani Umaiyah untuk mengadakan
perdamaian dengan syarat Hasan dijanjikan akan menjadi khalifah nanti
setelah kematian Muawiyah.
Setelah Hasan selesai membaca surat tersebut, serta merta ia mengutus
utusan untuk menemui saudaranya Husein di Madinah. Ia menganjurkannya
menerima usul perdamaian tersebut. Demikian pula sikapnya saat para
pemuka penduduk Iraq berkumpul di gedung pertemuan di Iraq. Beliau
berkata kepada mereka, “Sesungguhnya kalian membaiatku adalah untuk
berdamai dengan orang yang mengajak damai dan berperang dengan orang
yang mengajak perang. Sesungguhnya aku telah membaiat Muawiyah, maka
dengarlah kata-kataku.”
Peristiwa ini diterima oleh penduduk Iraq secara terpaksa. Begitu
pula halnya dengan Husein, beliau menerimanya secara terpaksa pula. Pada
dasarnya semuanya menghendaki agar jabatan khalifah dipegang oleh
keluarga Rasulullah, bukan didahului oleh Bani Umaiyah. Akan tetapi cara
berpikir Hasan menuju kepada mencegah pertumpahan darah di kalangan
kaum muslimin. Cukuplah bagi beliau apa yang pernah terjadi dalam perang
Shiffin. Akan tetapi Muawiyah tidak ingin menepati janjinya. Ia telah
menetapkan perintah membaiat anaknya, Yazid. Politiknya adalah jangka
panjang, meskipun pada mulanya keinginannya belum tercapai, namun ia
menjadikan strateginya itu secara bertahap.
Akibatnya setiap sahabat Rasulullah yang mendengar maksud Muawiyah
tersebut bukan main marahnya. Sebab jabatan khalifah akan dipegang oleh
penguasa yang bengis, sebagaimana yang pernah diberitakan oleh
Rasulullah. Namun meskipun Hasan menjaga jangan sampai terjadi
pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Tetapi tetap saja
perkara-perkara lain muncul di hadapannya. Pada akhirnya berkali-kali
beliau menghadapi usaha orang lain yang hendak meracuninya, tapi masih
boleh diubati. Orang-orang tersebut tidak puas jika belum berhasil dalam
usahanya. Hingga suatu ketika Hasan merasakan adanya racun pahit yang
ada dalam makanannya. Rasanya seperti ditikam pisau dalam perutnya.
Dengan menahan rasa sakit yang keras itu, beliau bertanya kepada
saudaranya Husein, “Siapa yang menyembunyikan racun tersebut?” Husein
tidak menjawab, dan tidak lama kemudian beliau pun wafat.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 50 H menurut pendapat yang paling
kuat, dan seluruh penduduk Madinah ikut berkabung, menguburkan jasadnya
yang suci di Baqi’. Dikabarkan di tempat itu tersebar bau harum sewangi
kasturi, seolah-olah para malaikat menaburkan wewangian syurga di
dalamnya.
Semoga Allah memberi rahmat kepada Hasan dan Husein. Sesungguhnya
Rasulullah pernah bersabda tentang mereka berdua, “Mereka berdua
termasuk pemuka para pemuda ahli syurga.”
Pemuka Para Pemuda Ahli Surga
Sejak saat kelahirannya, seisi langit menyambut kehadirannya. Seisi
bumi di sekitarnya memancarkan sinar kesucian, diliputi dengan rahmat
dan semerbak bau wangi yang ditaburkan oleh para malaikat. Ketika
Rasulullah mendengar bahwa puterinya Fatimah Az Zahra dikurniai putera,
baginda bergegas menuju ke rumahnya. Rasulullah menjumpainya dengan raut
wajah yang bersinar, bak purnama.
Begitulah kebiasaan baginda ketika mendengar berita gembira. Kemudian
Rasulullah mendekat kepada bayi yang masih suci, mengumandangkan azan
di telinganya seperti azan shalat. Itulah kalimat pertama yang didengar
oleh Husein setelah kelahiran beliau di dunia pada tanggal 5 Syaban 4 H.
Sebelum Rasulullah berangkat ke rumah puterinya, Fatimah, beliau sudah
mempersiapkan nama untuk bayi tersebut dengan nama “Husein”, suatu nama
yang belum dikenal oleh bangsa Arab pada waktu itu.
Husein hidup di rumah ayahnya di Madinah. Rasulullah pun
mencintainya, dan mencintai saudaranya, Hasan, dengan cinta yang amat
dalam. Kecintaan baginda itu digambarkan oleh Usamah Ibn Zaid dalam
suatu peristiwa yang disaksikannya sendiri. Usamah berkata, “Aku
mengetuk pintu rumah Rasulullah sambil membawa sesuatu yang tidak aku
ketahui apa yang dibawanya. Setelah selesai dengan tujuan yang saya
inginkan, aku bertanya kepada baginda, ‘Engkau sedang membawa apa ya
Rasulullah?’ Baginda pun membukanya. Ternyata itu adalah Hasan dan
Husein. Baginda bersabda, ‘Kedua anak ini adalah anakku, dan anak
puteriku. Ya Allah, sungguh aku mencintai keduanya. Maka cintailah
keduanya, dan cintailah orang yang mencintai keduanya’.”
Apabila Hasan dan Husein datang kepada kakeknya, Rasulullah, beliau
memeluk mereka dengan kasih sayang dan menciumnya satu persatu, kemudian
memangkunya di atas pahanya. Para sahabat di sekitar baginda segera
mengucap, “Sesungguhnya keduanya adalah pemuka para pemuda ahli surga.”
Sebahagian dari ucapan Rasulullah yang mencerminkan gelora kasih
sayangnya pada Husein adalah, “Husein itu dariku dan aku dari Husein.
Semoga Allah mencintai orang yang mencintai Husein. Husein adalah
cucuku.”
Husein tumbuh dalam lingkungan yang paling bersih dan mulia dari
sifat manusiawi. Datuknya adalah Rasulullah pemuka sekalian makhluk.
Ayahnya adalah Ali bin Abu Thalib, memiliki peringkat teratas dari sifat
dermawan, penuh pengorbanan, berjuang, dan patuh kepada Allah dan
Rasul-Nya. Ibunya adalah Fatimah Az Zahra, seutama-utama perempuan pada
masanya. Maka memadailah jika dikatakan bahwa dia adalah puteri
Rasulullah, isteri bagi pemimpin para pejuang, dan ibu dari pemuka para
pemuda ahli surga.
Dalam persekitaran perjuangan yang berbau kenabian yang bersinarkan
wahyu serta penuh dengan peristiwa jihad inilah Husein menghabiskan masa
kanak-kanaknya yang pertama. Di sekitar rumah ayahnya, Ali bin Abu
Thalib, dan rumah Rasulullah sampai beliau menginjak 6 tahun 7 bulan 7
hari, Rasulullah pun wafat. Peristiwa wafatnya Rasulullah itu disaksikan
oleh Husein. Bagaimana penduduk kota Madinah diliputi dengan rasa duka,
dan bagaimana duka yang dialami oleh kaum muslimin yang sangat mendalam
itu boleh menghilangkan akal sebahagian dari mereka. Sehingga orang
genius seperti Umar bin Khatthab diliputi dengan pikiran kosong. Umar
berseru kepada orang-orang, “Barangsiapa berkata bahwa Muhammad telah
mati, akan aku bunuh dengan pedangku ini!” Semua itu disaksikan oleh
Husein.
Kemudian dia mendengar perihal ayahnya dan kaum muslimin yang
bercakap-cakap tentang perang Riddah. Beliau hidup semasa
peristiwa-peristiwa itu terjadi dalam keadaan jiwanya yang bersih.
Tatkala mencapai usia remaja, ia menjadi anggota barisan para pejuang.
Ia ikut bersama ayahnya dalam perang Jamal, Perang Shiffin dan perang
melawan kaum Khawarij.
Ayahnya, Ali bin Abu Thalib, adalah pemimpin perang yang berwawasan
jauh. Allah memberinya ilham terhadap perkara-perkara yang ghaib dan
tidak dapat dijangkau oleh semua orang. Ketika beliau keluar dari
Madinah menuju ke Kufah dan sampai di Karbala, beliau mengarahkan
pandangannya di tanah tersebut dengan pandangan yang amat dukacita.
Beliau berkata, “Di sinilah tempat pemberhentian perjalanannya, dan di
sinilah tertumpah darahnya.”
Orang-orang di sekitarnya tidak mengerti ungkapan sedih dan
mengharukan tersebut. Baru setelah beberapa tahun kemudian, terjadilah
di situ peristiwa berdarah dalam peta dunia Islam. Rebutan kekuasaan dan
peralihan kepemimpinan khalifah menjadi raja yang bengis sebagaimana
hal tersebut pernah dikhabarkan oleh Rasulullah SAW, iaitu ketika
Muawiyah membaiat puteranya, Yazid, dengan paksa. Seandainya tidak
kerana kebijaksanaan Husein, tentu darah kaum muslimin akan tumpah.
Pendiriannya boleh mencegah pecahnya perang antara golongan pembaiat
dan penentangnya. Akan tetapi pertentangan tetap ada, meskipun secara
sembunyi-sembunyi dalam tiap peribadi dan tidak nampak kecuali setelah
kematian Muawiyah. Para pemuka Kufah mengirim surat kepada Husein
meminta kepadanya agar hadir di Kufah untuk dibaiat. Husein menghadapi
perkara ini dengan cermat. Beliau mengutus anak bapa saudaranya Muslim
Ibn Aqil. Tapi ketika Ubaidillah Ibnu Ziyad menjadi penguasa Basrah,
Muslim Ibn Aqil dibunuhnya. Peristiwa itu terjadi pada 9 Zulhijjah 60 H.
Peristiwa pembunuhan Muslim bin Aqil tersebut terjadi sebelum
keluarnya Husein dari Makkah ke Kufah selang satu hari. Oleh kerana itu
Husein tidak tahu tentang terbunuhnya Muslim bin Aqil sampai beliau tiba
di Qadisiyah. Beliau mengutamakan kembali ke Makkah, namun kaum kerabat
Muslim bin Aqil, tetap ingin melanjutkan perjalanan menuntut balas atas
kematian saudaranya. Pengikut Husein ketika itu sekitar 70 orang,
terdiri dari keluarga dan pendukungnya, baik dari kalangan lelaki,
perempuan mahupun anak-anak.
Kejadiannya sangat cepat. Ketika dua utusan Husein terbunuh lagi,
saat mengingatkan penduduk Kufah tentang syarat dan ajakan mereka untuk
membaiatnya, dua utusan tersebut dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad.
Keadaan semakin serius, sampai pada puncaknya berakhir di Karbala, di
mana kepala-kepala keluarga Rasulullah dipenggal, lalu kepala tersebut
dibawa di atas hujung tombak menuju ke Ubaidillah bin Ziyad, kemudian
diserahkan kepada Yazid bin Muawiyah di Damaskus. Husein terbunuh oleh
orang yang bernama Syamr bin Dzi Jausyan, yang kemudian ia mendapat
murka Allah, para malaikat dan kaum muslimin seluruhnya.
Kepala Husein yang mulia tersebut dipindahkan dari satu kota ke kota
yang lain, kemudian ke kota Asqalan. Di situlah penguasa setempat
menguburkannya. Lalu ketika bangsa Eropah berkuasa pada waktu perang
Salib, Thalaih bin Raziq menebusnya dengan uang 30.000 dirham agar
kepala tersebut boleh dipindahkan ke Kairo dan dapat dikubur di tempat
di mana ia mati syahid semasa hidupnya.
Tentang kepala Husein di tempat syahidnya itu, para ahli sejarah
berpendapat bahwa ketika Abdul Rahman hendak memperluas bangunan masjid
Al Husein, tempat tersebut ramai dikunjungi oleh orang-orang, termasuk
di antaranya dua ulama popular, iaitu Syekh Al Jauhary As Syafi’i dan
Syekh Al Malwi Al Maliki. Keduanya menyaksikan apa yang terdapat di
dalam kuburan Husein. Diketahui bahwa kepala Husein dibungkus dengan
kain sutera berwarna biru yang diletakkan dalam pundi emas di atas
tempat ebonit. Demikian pula banyak petunjuk-petunjuk lain tentang
kepala Husein dalam makam tersebut.
Allah menghendaki agar peristiwa yang menimpa pada cucu Rasulullah
itu berlaku adil. Tiga tahun kemudian Yazid bin Muawiyah mati dengan
cara yang hina, yaitu jatuh dari kudanya ketika sedang mengejar monyet.
Lehernya patah, kuku kaki kudanya patah dan meringkik tidak tentu hala.
Adapun Syamr bin Dzi Jausyan, si pembunuh Husein, terbunuh oleh Mukhtar
bin Abi Ubaid As Tsaqafi, pelopor gerakan Tawwabin. Ia melemparkan jasad
Syamr bin Dzi Jausyan agar dimakan anjing. Begitu pula nasibnya
Ubaidillah bin Ziyad, terbunuh lalu dibakar. Sedangkan sisa-sisa
pengikut Yazid bin Muawiyah mati terbunuh di tangan kelompok Tawwabin
lainnya.
Allah memuliakan Kairo dengan dimakamkannya kepala Husein dan
dikuburkannya beberapa Ahl Al Bait di sana. Semoga Allah meridhai mereka
dan memberinya tempat yang mulia dan darjat tertinggi di dunia dan
akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar